Kecil-kecil Kuda Kuningan
Oleh Nuruddin Asyhadie
Apakah
yang diharapkan orang dari mata seorang seniman? Mengapa mata seniman
dipandang memiliki kekhususan-kekhususan tertentu, yang seringkali
membuat posisi mereka sejajar mata orang suci, menjadi mata air
inspirasi dan hikmah? Meski hari ini kita hidup dalam suatu masa ketika
segalanya meluncur dalam kematian, termasuk kategori seniman dan seni
sebagai sesuatu yang special dan unik, sehingga seniman dan seni tak
lagi berbeda dengan pengrajin dan kerajinan, suatu masa yang kita kenal
sebagai postmodern bahkan pasca postmodern, kita tak bisa memungkiri
bahwa masyarakat masih mengharapkan
pengalaman-pengalaman unik dan superior seniman yang lahir dari
kepekaan dan kejeniusan seniman, kita juga tak bisa memungkiri bahwa
seniman pun masih melihat diri mereka sebagai jenius rasa, yang berbeda
dengan orang kebanyakan, pandangan-pandangan yang diwarisi dari jaman
Romantik dan menjadi penanda modernisme.
Pameran
ini bertajuk Kuningan di Mata Perupa, lahir dari kesadaran akan hal-hal
yang terbengkalai atau lupa ditangkap oleh masyarakat dan/atau
pemerintah atau telah lama disadari namun menjadi hal yang tak
terpikirkan, nomor dua, tertimbun berbagai persoalan yang dianggap
lebih krusial, lebih potensial, atau apapun, mengenai Kuningan, dari
persoalan identitas kultural, urbanisasi, isolasi, yang menyajikannya
ke dalam sebuah pameran seni rupa semacam ini diproyeksikan dapat
memberi semacam kesegaran, kejutan, keterhenyakan, atau ingatan yang
dapat merangsang tindakan-tindakan tertentu, kebijakan-kebijakan
tertentu.
Ada
sekitar 40 karya dengan jenis yang berbeda-beda, dari lukisan, patung,
dan foto dipajang dalam pameran ini, yang mengajak pengunjung untuk
memikirkan kembali Kuningan. Dari karya-karya Asep Dheny misalnya kita
bermain-main dengan topeng Kelana, ikan, dan upacara Seren Taun dalam
warna-warni cemerlang yang bisa mengajak pada perenungan akan Kuningan
sebagai kemurnian yang harus berhadapan dengan pernak-pernik kehidupan
dan harus menjaga jiwanya tetap bersih, tetap kukuh sebagai pribadi.
Tema dan idiom yang kurang lebih sama diusung oleh Wawan Setiawan
melalui lukisan-lukisan tari Buyung. Tampak
ada kecemasan atau kekhawatiran terhadap modernisasi dan
industrialisasi, serta kerinduan dan/atau idealisasi terhadap kemurian,
kealamian dari para seniman Kuningan yang menurutsertakan karyanya
dalam pameran ini, walaupun Kabupaten Kuningan mendapat penghargaan
Inovasi Manajemen Perkotaan dari Pemerintah Pusat tahun 2010 lalu dan
menjadikan pariwisata dan agribisnis sebagai tumpuan. Dengan
idiom-idiom yang berbeda, Idik Nursidik yang menyajikan lukisan-lukisan
tomat, stroberi, apel, dengan penyibakan akan wajah pucat pabrik-pabrik
di dalamnya atau seiris semangka berdaging gunung, juga penggambaran
kehidupan rural, nenek tua, dan tari topeng dalam tone gersang atau
ranggas, serta foto-foto Tedi Iskandar yang menampilkan
kegalauan-kegalauan dari dunia perbatasan, lukisan-lukisan mitologis
Jojo Hamzah yang menyeru agar tetap kukuh pada kebaikan dan kesucian,
dan peringatan akan resiko-resiko tertular Bali dari sapuan kuas Akim
Nursoleh, menunjukan kecemasan dan kekhawatiran serta kerinduan atau
idealisasi yang sama. Bagaimana kecemasan ini harus dibaca, mengingat
bahwa masyarakat Kuningan memiliki sejarah urbanisasi sebagai daerah
yang ditinggalkan oleh penduduknya karena keterbatasan-keterbatasan
atau keterkucilannya, paling tidak sejak masa Dipati Ewangga?
Hal
ini pasti menciptakan kompleksitas tertentu dan bukan hal mudah untuk
dilampaui atau dipecahkan. Kompleksitas itu bisa menjadi faktor
penghambat bagi keterbukaan Kuningan terhadap dunia luar, perkembangan
pembangunan Kuningan, namun ia juga dapat menjadi kekuatan, saringan,
agar Kuningan tak tergerus oleh resiko-resiko atau dampak-dampak
negatif dari modernisasi dan modernitas. Tinggal bagaimana masyarakat
Kuningan dan pemerintah daerahnya menciptakan sebuah dialog,
dialektika, dan kerjasama dalam membangun dan mengembangkan
potensi-potensi daerahnya secara bijaksana. Apakah akan berhasil atau
tidak? Patung-patung Iyan Suryana seakan menjawab pertanyaan itu:
“Kami ini kecil-kecil, kuda Kuningan.”
Asep Dheny
Penari Buyung oil on canvas 50 x 100 cm
dudi R.D sel telur oil on canvas
Idik Nursidik
Hanya Sepotong (2011)
oil on canvas
(*) Nuruddin Asyhadie adalah Komentator sastra, film, seni rupa, dan filsafat.
Post a Comment